twitter twitter
facebook
rss

  • From Tempo magazine

    Kongres Anak yang Tak Kekanak-kanakan

    Anak Indonesia...
    Luar biasa!
    Anak Indonesia...
    Merdeka, ya!
    Siapa kita?
    Indonesia.

    Yel-yel yang diteriakkan dengan semangat penuh oleh anak-anak usia 14-18 tahun itu seakan hendak meruntuhkan aula Hotel Seratta, yang terletak di kawasan wisata bahari Pantai Pasir Padi, Pulau Bangka. Mereka sekitar 300 anak adalah peserta Kongres Anak Indonesia IX di Kota Pangkal Pinang, yang berlangsung pada 20 dan 21 Juli lalu. Penginapan yang terletak sejauh 25 menit perjalanan mobil dari Bandar Udara Depati Amir, Kepulauan Bangka Belitung, pun berubah meriah beberapa hari selama pertemuan. Ruang pertemuan seluas setengah lapangan sepak bola bertarif Rp 5 juta per hari ini tak pernah sepi dari celoteh, teriakan, dan nyanyian peserta kongres.

    Tengok saja, saat lagu Sajojo asal Papua didendangkan, ratusan anak spontan berpegangan tangan. Bahkan setengah dari mereka berbaris membentuk deretan seperti ular dan berkeli ling mengitari aula. Mereka larut dalam keceriaan sebagai anak Indonesia dari beragam suku, bahasa, dan latar belakang. "Kami adalah anak Indonesia," kata M. Deden Suratman, 17 tahun, anak jalanan asal Banten, dengan bangga. Memang, selama kongres, semuanya dilakukan anak-anak, tidak ada orang dewasa yang ikut serta, apalagi mengarahkan jalannya pertemuan.

    Ratusan anak yang datang pun menjalankan kongres dengan bertanggung jawab. Tidak ada kesan bahwa mereka datang ke pulau tempat syuting film Laskar Pelangi ini untuk bersantai dan melakukan kesenangan semata. Mere ka datang ke Pangkal Pinang dengan tekad merumuskan dan menyuarakan aspirasi anak Indonesia. "Kalau bukan kita, siapa lagi? Jika tidak sekarang, kapan lagi?" kata Franklin, peserta kong res berusia 16 tahun asal Nusa Tenggara Timur, dengan bersemangat.

    Pertemuan anak tahun ini bertema "Wujudkan Perlindungan Anak, untuk Masa Depan Indonesia yang Gemilang". Kongres yang digelar setiap tahun sejak 2000 ini memang khusus diadakan menyambut Hari Anak Nasional pada 23 Juli. Acara tersebut dinilai penting karena, berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, setiap anak memiliki hak partisipasi alias berhak mengeluarkan pendapat.

    Hebatnya, anak-anak itu mampu ber kongres secara dewasa. Tempo melihat mereka berani berpendapat, kritis, dan tak sungkan berdebat, tapi tetap beretika. Sebagian peserta kongres mengenakan pakaian adat masing-masing, membuat suasana pertemuan menarik. Anak-anak ini tidak hanya enak disimak pembicaraannya, tapi juga ditonton figur dan perilakunya.

    Agenda sidang tersusun rapi, mulai sidang paripurna untuk pengesahan pemimpin sidang, jadwal dan tata ter tib persidangan, sidang komisi, pleno sidang komisi, sampai rapat paripurna finalisasi pengesahan suara anak Indonesia. Tak sepi dari perdebatan, tapi semua berakhir dengan musyawarah untuk mufakat. "Setiap keputusan disahkan dengan ketukan palu, voting sah jika meraup 50 persen plus 1 suara yang hadir," kata pemimpin sidang, Sri Ma handhana, asal Bali.

    Mahandhana mendapat dukungan suara terbanyak sebagai ketua sidang. Pemuda 17 tahun itu didampingi Franklin sebagai sekretaris dan Indah Dara puspa, keduanya berusia 16 tahun, sebagai pimpinan anggota. Ada tiga sidang paripurna. Yang pertama dilaksanakan tepat pukul 15.00, 20 Juli, satu setengah jam setelah kongres dibuka.

    Di aula sidang yang ramai, ketiga pemimpin sidang langsung menuju ke tempat yang ada di depan dan berhadapan dengan peserta. Dua layar proyektor terpampang di kanan dan kiri pemimpin sidang. Suasana kongres masih ramai sebelum suara ketua sidang bertipe bariton itu memulai rapat paripurna.

    Awalnya Mahandhana membacakan surat keputusan resmi Kongres Anak Indonesia, tentang pengesahan para pemimpin sidang. Lalu tata tertib sidang dibacakan. Ketua sidang memerinci ketentuan peserta selama persidangan, di antaranya perihal pengaktifan telepon seluler dan penggunaan pakaian yang sopan. Tiba-tiba hujan interupsi datang. Puluhan peserta kongres mengangkat tangannya. "Interupsi, pimpinan sidang," kata mereka bersahutan bergantian, mirip anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

    Butuh waktu hampir dua jam untuk membahas tata tertib sidang. Padahal mereka hanya memperdebatkan batasan rapi dan soal mematikan telepon seluler. Apakah perlu memakai kemeja dan sepatu? Bagaimana dengan yang tidak membawa sepatu? Apa hukumannya? Bahkan soal penggunaan kata "dan" serta "atau" dalam kalimat yang tertera di tata tertib pun diperdebatkan. "Kata-katanya kan 'atau', bukan 'dan', jadi peserta bisa memilih salah satu," kata Mahandhana menengahi perdebatan bahasa yang digunakan dalam mematikan atau mengalihkan ke fungsi getar untuk telepon seluler.

    Setelah mencapai mufakat untuk urusan tata tertib, peserta dari tiap daerah membacakan poin rekomendasi yang dibawa dari daerah masing-masing. Acara ini berlangsung hingga pukul 21.00, se te lah diselingi istirahat, salat, dan makan.

    Ketika istirahat inilah beberapa peserta unjuk kebolehan, seperti bernyanyi dan menari. Misalnya Valentino, 16 tahun, asal Maluku, yang mempu nyai suara sekeren Glenn Fredly, dengan bangga memamerkan kelebihannya. Sorak-sorai anggota kongres menyambutnya. Mereka menyebut jeda itu sebagai ice breaking.

    Dalam sidang paripurna kedua, yang diselenggarakan keesokan harinya, peserta dikelompokkan ke lima komisi. Tiap komisi membahas berbagai per masalahan anak, mulai pendidikan, kesehatan, perlindungan khusus partisipasi, hingga jaringan anak. Perdebatan seru terjadi di komisi kesehatan, pada saat peserta kongres membahas pro-kontra tembakau dan ancaman terhadap tumbuh kembang anak.

    Sebagian besar anak antusias berpendapat mengenai masalah rokok ini. Misalnya dari pendekatan agama dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, soal kesanggupan anak menolak rayuan iklan rokok, pelarangan iklan rokok, sampai pendapat ekstrem penutupan pabrik rokok. Nasrul dari DKI Jakarta berpendapat, menutup pabrik rokok tindakan yang tidak bijak karena mengancam pekerjaan jutaan petani tembakau. "Solusinya harga rokok dinaikkan agar tidak terjangkau oleh anak-anak," kata pelajar madrasah tsanawiyah setingkat SMP berusia 15 tahun itu.

    Masalah tembakau hanyalah seba gi an kecil bahasan di kongres anak. Peserta kongres sepakat memilih ma salah rokok menjadi salah satu dari delapan butir rekomendasi suara anak Indonesia yang rencananya dibacakan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di puncak perayaan Hari Anak Nasional. "Kami tidak butuh diperhatikan, tapi kewajiban pemerintahlah yang harus menangani kami," kata Deden, anak jalanan. "Pemerintah hanya melihat, tanpa berbuat sesuatu."

    Pada akhirnya, ke-300 anak peserta kongres berhasil memformulasikan delapan poin "Suara Anak Indonesia". Beberapa yang menarik adalah tuntutan mereka kepada pemerintah untuk menyediakan rumah perlindungan bagi anak telantar, korban kekerasan, korban perdagangan, korban bencana, dan anak yang berhadapan dengan hukum. Mereka juga meminta pemerintah mencanang kan gerakan nasional melawan kekerasan dan kekejaman terhadap anak; dan membebaskan biaya kesehatan bagi anak. Anak-anak yang tinggal di daerah terpencil, terisolasi, di perbatasan, mereka minta agar diberi fasilitas memadai. Mereka juga menuntut perlindungan dari bahaya rokok sebagai zat adiktif dengan melarang iklan rokok, menaikkan harga rokok, membuat peringatan bergambar pada bungkus rokok, dan menjauhkan akses anak dari rokok.

    Setelah memeras pikiran dan stamina selama dua hari berkongres, hari yang ditunggu pun tiba, yaitu puncak acara Hari Anak yang berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 23 Juli. Anak-anak tak sabar melihat jarum jam menunjuk pukul 09.12. Dua peserta kongres, Arief Rochman Hakim, 16 tahun, dan Maesa Ranggawati Kusnandar, 15 tahun, sebelumnya telah terbang ke Jakarta untuk membacakan delapan butir rekomendasi anak hasil kongres di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Waktu yang diberikan lima menit, yaitu 09.12-09.17. Tapi, hingga pukul 09.30, tak ada tanda-tanda kehadiran Arief dan Maesa di layar kaca TVRI, stasiun televisi pelat merah yang menyiarkan langsung peringatan ter sebut.

    Tiba-tiba sebuah pesan pendek mampir di beberapa telepon seluler peserta kongres. "Suara anak Indonesia dibatalkan sepihak untuk dibaca di ha dapan Presiden," begitu isi pesan tersebut. Spontan ratusan anak peserta kongres itu bersedih. Tak sedikit pula yang menangis. "Hanya lima menit saja, Presiden tak mau mendengar suara anak Indonesia," kata Mahandhana sedih. Tak ada yel-yel kegembiraan seperti hari-hari mereka berkongres.

    Rudy Prasetyo (Pangkal Pinang)

Perwakilan Anak se-Jateng Ikuti Pelatihan Kepemimpinan

image

Semarang, CyberNews. Sebanyak 58 remaja mewakili anak-anak se-Jawa Tengah ikut serta dalam kongres di Balai Latihan Kejuruan Industri (BLKI) Semarang, 23-25 Juni lalu.

Anak-anak yang berumur maksimal 18 tahun tersebut tergabung dalam Forum Anak Jawa Tengah (FAN), mengikuti pelatihan kepemimpinan, berdemokrasi dan hal-hal yang berkaitan dengan hidup sehat, mental, kepribadian dan peduli lingkungan. Adapun fasilitastor kegiatan terdiri dari LPA Jateng, Perisai, Lppa dan Yayasan Setara.

FAN Jateng merupakan forum yang dikelola oleh anak-anak untuk menyalurkan aspirasi anak, tempat berpartisipasi dan berkomunikasi anak.

Dalam kongres tersebut juga dilakukan pemilihan pengurus baru sekaligus persiapan menyambut peringatan Hari Anak Nasional pada 23 Juli 2010 yang dipusatkan di Kebumen pada 7 Juli mendatang bersamaan dengan Hari Keluarga (Harganas) dan Hari Gotong Royong. Hal itu dikatakan Dra Maria dari Badan Koordinator Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Keluarga Berencana ( BKP3AKB )

Kabid Kesejahteraan Perlindungan Anak dari BKP3AKB, Heri Indrayanto SH berpesan agar anak-anak pandai membawa diri dan tak henti berjuang untuk kebaikan.

"Pembangunan di Jateng terletak di pundak kalian," ujarnya usai menyerahkan sertifikat pada para pengurus terpilih.

Followers